Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025 membawa dampak signifikan bagi masyarakat. Meski diamanatkan oleh UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), kebijakan ini tidak sepenuhnya wajib. Pemerintah memiliki fleksibilitas untuk menetapkan tarif PPN dalam rentang 5-15%.
Ironisnya, kebijakan ini datang saat ekonomi masyarakat tengah melemah:
- Pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,91% (y-o-y) pada Q3 2024 dan turun -0,48% (q-to-q).
- Deflasi terjadi selama lima bulan berturut-turut (Mei-September 2024).
- Omzet UMKM anjlok hingga 60%, menurut laporan Bank BRI.
Sementara itu, penerapan pajak karbon masih tertunda, dan potensi penerimaan hingga Rp300 triliun dari sektor tambang ilegal dan pengemplang pajak sawit belum dioptimalkan.
Dengan kenaikan ini, tarif PPN Indonesia akan menjadi yang tertinggi di ASEAN bersama Filipina (12%), melampaui Malaysia (8%) dan Singapura (9%). Kebijakan ini berisiko menekan daya beli masyarakat, terutama Gen Z dan kelompok menengah ke bawah, yang akan menghadapi:
- Beban konsumsi yang meningkat.
- Penurunan daya beli dan peningkatan utang.
- Ketergantungan pada sektor informal seperti thrifting dan jastip
CELIOS merekomendasikan kebijakan yang lebih pro-rakyat untuk mendukung pemulihan ekonomi, dibandingkan menambah beban masyarakat.
Baca laporan lengkap dengan judul PPN 12%: Pukulan Telak bagi Dompet Gen Z dan Masyarakat Menengah ke Bawah.