Valuasi Dampak Ekonomi Restoratif: Jalan Keluar Kebuntuan Ekonomi Indonesia
Temuan kunci:
- Kebijakan ekonomi restoratif yang progresif dapat meningkatkan output ekonomi sebesar 10 kali lipat, dari Rp 203,26 triliun menjadi Rp 2.208,7 triliun hingga 25 tahun kedepan. Angka ini belum mencakup manfaat yang diperoleh dari peningkatan kualitas lingkungan, seperti air bersih, udara yang lebih baik, dan produktivitas tanah yang meningkat.
- Sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang mendukung penghidupan lebih dari 85% masyarakat Indonesia mendapat manfaat signifikan dari implementasi ekonomi restoratif.
- Peningkatan 1% alokasi Produk Domestik Bruto (PDB) untuk inisiatif ekonomi restoratif dapat menurunkan ketimpangan atau rasio Gini hingga 15%.
- Ekonomi restoratif diproyeksikan meningkatkan tingkat lapangan kerja sebesar 14% dan tingkat morbiditas dapat menurun hingga 11% melalui penerapan ekonomi restoratif.
- Hasil modelling menunjukkan serapan tenaga kerja ekonomi restoratif dapat menembus 35 juta orang hingga 25 tahun kedepan.
- Dalam skenario ekonomi restoratif yang progresif, kompensasi tenaga kerja mencapai Rp 842,1 triliun dibandingkan hanya Rp 64,9 triliun dalam skenario Business As Usual (BAU).
- Keberhasilan ekonomi restoratif bergantung pada kebijakan pemerintah yang mendukung, seperti regulasi keberlanjutan, akses pembiayaan, dan insentif fiskal.
Jakarta, 26 November 2024 – Laporan riset berjudul “Menghitung Dampak Ekonomi Restoratif: Jalan Keluar Kebuntuan Ekonomi” dirilis hari ini oleh Center of Economic and Law Studies (CELIOS). Studi ini mengupas tentang bagaimana pendekatan ekonomi restoratif dapat mengatasi tantangan ekonomi Indonesia.
Saat ini terjadi eksploitasi sumber daya alam yang merusak, serta ketimpangan sosial yang semakin lebar. Banyak daerah, khususnya di desa-desa, yang terpinggirkan dalam proses pembangunan ekonomi yang cenderung mengabaikan kelestarian alam dan kesejahteraan sosial. Sumber daya alam dikeruk untuk industri ekstraktif dan tidak menghasilkan nilai tambah yang berarti untuk masyarakat sekitar.
Ekonomi restoratif, yang memadukan pemulihan ekosistem dengan pertumbuhan ekonomi inklusif, terbukti mampu mengurangi ketimpangan sosial, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan menciptakan lapangan kerja baru. Dengan fokus pada sektor-sektor berbasis ekonomi lokal seperti pertanian, kehutanan, dan perikanan—yang menjadi tulang punggung bagi lebih dari 85% masyarakat Indonesia—laporan ini memberikan proyeksi dampak positif yang signifikan.
Hasil riset menunjukkan bahwa peningkatan 1% alokasi Produk Domestik Bruto (PDB) untuk inisiatif ekonomi restoratif dapat menurunkan rasio Gini hingga 15%, meningkatkan lapangan pekerjaan sebesar 14%, dan mengurangi tingkat morbiditas hingga 11%. Hal ini menekankan bahwa investasi dalam ekonomi restoratif tidak hanya bermanfaat bagi lingkungan, tetapi juga memberikan dampak positif terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat.
Hasil studi ini juga menunjukkan bahwa pengembangan ekonomi restoratif sangat bergantung pada dukungan kebijakan pemerintah. Dalam skenario Business as Usual (BAU) yang minim dukungan kebijakan, output ekonomi dari sektor ekonomi restoratif pertanian, perkebunan, dan perikanan diperkirakan hanya mencapai Rp203,26 triliun pada tahun ke-25. Sebaliknya, dengan kebijakan ekonomi yang progresif seperti insentif pajak dan program subsidi, output ekonomi dapat melonjak hingga Rp2.208,7 triliun.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif CELIOS menekankan pentingnya ekonomi restoratif yang sejalan dengan upaya mendorong ketahanan pangan. “Pemerintahan Prabowo bisa dorong praktik perkebunan dan perikanan berkelanjutan untuk di integrasikan dalam pasokan MBG (Makan Bergizi Gratis) misalnya, sehingga pangan lokal bisa diprioritaskan. Strategi ini bisa membantu penurunan biaya logistik MBG dan mengoptimalkan dampak ke petani serta pelaku usaha lokal.” kata Bhima.
Selain itu program ekonomi restoratif dapat digabungkan dengan konsep intensifikasi pertanian yang berbeda dari pembukaan lahan baru. Bhima menambahkan, “Kebutuhan lahan pertanian yang cukup besar tentu memberikan efek terhadap kerusakan lingkungan, dan padat modal. Melihat output ekonomi restoratif cukup besar maka pemerintah sebaiknya fokus pada pengembangan teknologi tepat guna, fungsi agregator produk restoratif hingga pendampingan bagi masyarakat yang menjaga hutan.”
Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, menyatakan bahwa dukungan pemerintah adalah faktor kunci dalam keberhasilan ekonomi restoratif. “Dalam skenario Business as Usual, potensi ekonomi lokal di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan akan terus stagnan. Namun, dengan kebijakan yang mendorong ekonomi restoratif—seperti insentif pajak, program subsidi, dan regulasi keberlanjutan—kita dapat meningkatkan output hingga lebih dari sepuluh kali lipat. Kebijakan ini akan memastikan bahwa masyarakat pedesaan, yang sering terpinggirkan, dapat ikut merasakan manfaat pembangunan ekonomi,” jelasnya.
Jaya Darmawan, ekonom CELIOS dan penulis laporan ini, menyoroti pentingnya pemberdayaan masyarakat lokal. “Ekonomi restoratif memberikan peluang besar untuk mendistribusikan pendapatan secara lebih adil. Dalam skenario Progresif, kompensasi tenaga kerja meningkat menjadi Rp 842,1 triliun pada tahun ke-25, dibandingkan dengan Rp 64,9 triliun pada BAU. Distribusi pendapatan yang lebih merata tidak hanya mengurangi kesenjangan antara perkotaan dan pedesaan, tetapi juga memperkuat kohesi sosial. Dengan memberdayakan masyarakat lokal melalui pelatihan teknis dan akses ke teknologi, kita dapat menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan harmonis,” ungkapnya.
Studi CELIOS juga menawarkan Roadmap Pengembangan Ekonomi Restoratif menuju ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif. Dalam lima tahun pertama (2025–2030), pemerintah dapat fokus pada kebijakan insentif pajak, penguatan regulasi perlindungan lingkungan, dan pembentukan dana investasi khusus untuk proyek restoratif. Lima tahun berikutnya (2030–2035), fokus pada pengembangan infrastruktur hijau, teknologi berkelanjutan, dan integrasi ekonomi restoratif dalam RPJMD, serta peluncuran program restorasi ekosistem di daerah. Pada lima tahun terakhir (2035–2040), ekspansi program restorasi ekosistem dapat dilakukan, dengan evaluasi dan penyesuaian kebijakan berbasis data.
Laporan ini menegaskan bahwa ekonomi restoratif tidak hanya relevan dalam konteks pertumbuhan ekonomi, tetapi juga sebagai solusi keberlanjutan jangka panjang. Dengan memanfaatkan sumber daya alam secara bijaksana, meningkatkan kualitas lingkungan, dan memastikan distribusi pendapatan yang adil, ekonomi restoratif menjadi jalan keluar untuk menciptakan perekonomian yang lebih inklusif, berkelanjutan, dan tangguh.