JAKARTA, 12 November 2024 – Pemerintah Indonesia terus mendorong pengembangan biomassa sebagai alternatif bahan bakar fosil, dengan berbagai kebijakan untuk mendukung ekspansi biomassa. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, biomassa diakui sebagai salah satu strategi untuk mencapai transisi energi. Serta biomassa juga didukung dalam RUPTL PLN dan direncanakan masuk sebagai energi terbarukan dalam RUU EBET yang sedang dibahas di DPR.
Untuk mendalami rencana tersebut CELIOS melakukan studi terkait implikasi dari rencana pengembangan Hutan Tanaman Energi (HTE) di Indonesia, khususnya untuk keperluan biomassa, serta dampaknya terhadap tata kelola hutan, kapasitas regulasi, akses terhadap lahan, dan reforma agraria di sektor kehutanan.
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengatakan bahwa besarnya kebutuhan co-firing PLTU dari pelet kayu bukan hanya untuk kebutuhan domestik tapi juga ekspor, salah satunya ke Jepang. Pembeli terbesar pelet kayu dari Indonesia adalah Jepang dan Korea Selatan masing-masing 10 juta ton dan 64 juta ton sepanjang 2023.” kata Bhima.
Bhima menambahkan, “Dalam ambisi mencapai emisi karbon yang lebih rendah, kami melihat tren ekspansi perusahaan Jepang khususnya mengendalikan industri hutan tanaman di Kalimantan Tengah melalui perusahaan yang mengelola dari hulu ke hilir, dengan sertifikasi longgar yang mengabaikan masalah lingkungan, konflik agraria, dan ekologi. Ambisi Jepang telah memicu deforestasi di Kalimantan.”
Selanjutnya Bhima menyebut bahwa “Komitmen dekarbonisasi Jepang melalui standar seperti Japanese Agricultural Standard (JAS), Green Purchasing Act (GPA), dan Eco Mark Program (EMP) terbukti kurang efektif dalam menangani isu rantai pasok pada PT. Korintiga Hutani, karena sertifikasi ini bersifat sukarela dan tidak mengikat”.
Pemerintah Jepang hanya mengandalkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) Indonesia yang bermasalah. Sementara itu, kerangka hukum Indonesia yang market-driven membuat sertifikasi lebih sebagai alat pemasaran daripada bentuk kepatuhan substansial.
Sementara itu, Muhamad Saleh, Peneliti Hukum CELIOS menjelaskan bahwa ada kerentanan regulasi HTE merujuk pada keadaan di mana aturan yang memayungi segala aspek terkait HTE, mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan pelaksana, memiliki celah yang dapat menimbulkan berbagai masalah. Misalnya terkait pengaturan Multiusaha Kehutanan. Memiliki kelonggaran dalam mengawasi pemegang konsesi, mulai dari proses pelaporan, evaluasi kinerja, dan konflik yang masih terjadi. Kondisi ini juga diperparah oleh lemahnya kemampuan pemerintah dalam melakukan pengawasan.
Saleh juga mengungkapkan dalam temuan studi ada indikasi kuat bahwa pemilihan PT Mutuagung Lestari (Mutu International) sebagai auditor didorong oleh hubungan kepentingan dengan Jepang. Korintiga, sebagai perusahaan joint ventureantara Korindo (Korea-Indonesia) dan Oji Holdings (Jepang), tampaknya memanfaatkan hubungan ini. Sebagai catatan, PT Mutuagung Lestari (Mutu International) telah lama terlibat dalam menyusun standar Plywood dan mensertifikasi perusahaan-perusahaan untuk pasar Jepang sejak 1991.
“Proyek Strategis Nasional diberikan kemudahan dalam pengelolaan Kawasan Hutan dengan prioritas dalam Pengukuhan Kawasan Hutan, memungkinkan pengecualian dari prosedur yang umum. PSN tidak diwajibkan mengikuti prosedur Penataan Batas Kawasan Hutan dan diperbolehkan melakukan pelepasan di Kawasan Hutan Produksi yang dapat Dikonversi atau Kawasan Hutan Produksi Tetap. Usulan perubahan fungsi Kawasan Hutan sepenuhnya ditetapkan oleh pemerintah pusat tanpa keterlibatan pemerintah daerah. Selain itu, PSN dibebaskan dari kewajiban membayar Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk penggunaan kawasan hutan, pembebasan kompensasi, dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS)” tutup Saleh.
Merespon hal tersebut, Mhd Zakiul Fikri selaku Direktur Hukum CELIOS mengungkapkan potensi masuknya pengembangan produksi Hutan Tanaman Energi melalui Proyek Strategis Nasional akan memperluas ketimpangan akses terhadap lahan oleh masyarakat, terutama lahan hutan.
“Kita bisa bayangkan, tanpa PSN saja saat ini ketimpangan akses terhadap lahan terjadi secara masif. Misal, hasil temuan studi yang CELIOS luncurkan menunjukkan secara gamblang ketimpangan akses terhadap lahan di Kabupaten Kotawaringin Barat. Sebab, secara de jure, satu perusahaan menguasai 20% lahan di kabupaten tersebut” ungkapnya.
Fikri juga menambahkan proyek Hutan Tanaman Energi ini sejak semula tidak berorientasi pada bagi hasil dan keterlibatan masyarakat sekitar, tetapi berorientasi pada industri ekstraktif kehutanan. Karena itu, segala bentuk skema kehutanan yang dibuat untuk mendukung kelangsungan proyek tersebut berorientasi pada industri.
“Ini menyebabkan terjadinya disorientasi reforma agraria di sektor kehutanan. Contoh, pemanfaatan skema Hutan Tanaman Rakyat yang idealnya diperuntukkan bagi penataan akses hutan supaya rakyat bisa mengelola hutan tersebut sesuai dengan peruntukkan yang mereka kehendaki, malah dibajak oleh perusahaan untuk kepentingan peningkatan kapasitas produksi mereka. Ini yang terjadi di PT Korintiga Hutani di Kabupaten Kotawaringin Barat. Apakah itu reforma agraria yang Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 ingingkan? Tentunya tidak” tutup Fikri.
Narahubung:
Mhd Zakiul Fikri +62 853-2811-5510
Sebagai bentuk transparansi dan untuk memastikan bahwa publik mendapatkan informasi yang berimbang, kami melampirkan rincian lengkap dari jawaban yang diberikan oleh PT KORINTIGA HUTANI. Kami percaya bahwa dengan menyediakan berbagai perspektif, publik dapat menilai informasi dengan lebih obyektif dan berbasis pada data yang valid.
Dokumen tanggapan dari dapat diakses melalui tautan berikut: