REDEFINING CHINA’S “DEBT-TRAP” An Indonesian Perspective

CELIOS: Indonesia Masuk ke Jebakan Utang China Tanpa Disadari Pemerintah

Indikasi Jebakan Utang China Perlu Dicermati Kembali

Perusahaan China Mendapat Banjir Insentif Pajak Tanda Jebakan Utang

CELIOS: Prabowo Perlu Hentikan Proyek Bermotif Jebakan Utang

Jakarta — Dalam 10 tahun terakhir hubungan Indonesia-China mencapai titik tertingginya dalam sejarah. Sejak presiden Xi Jinping meluncurkan Belt and Road Initiative (BRI) pada tahun 2013 Indonesia menjadi salah partner prioritas di Asia Tenggara untuk mendukung mega proyek negeri tirai bambu tersebut. Disaat yang bersamaan Presiden Joko Widodo yang baru menduduki dapuk kekuasaan telah mendorong investasi asing yang masif untuk agenda ambisius untuk merombak infrastruktur Indonesia, yang memerlukan investasi diperkirakan sebesar US$450 miliar. Proyek yang paling signifikan dalam upaya ini adalah Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dalam skema yang awalnya Business-to-Business (B to B) kemudian menjadi pelibatan campur tangan APBN.

Sejak disepakati proyek Kereta Cepat telah menarik perhatian publik karena kekhawatiran tentang potensi beban utang yang harus dihadapi Indonesia. Tanda-tanda ini ditunjukan melalui gagalnya Luhut Binsar Panjaitan, Menteri Koordinator Maritim dan Investasi menegosiasikan penurunan suku bunga pinjaman dari 3,4% menjadi 2%.

Tidak hanya itu, selama masa konstruksi proyek ini mengalami kendala yang cukup besar, mulai dari isu lingkungan, kecelakaan kerja, pembengkakan anggaran, hingga buruknya manajemen proyek. Yang paling disoroti adalah jumlah total pengeluaran yang membengkak menjadi US$7,27 miliar, awalnya hanya sekitar US$6 miliar. Imbasnya Indonesia harus menerima periode konsesi yang diperpanjang lebih dari 80 tahun.

Beberapa analis berpendapat bahwa Indonesia telah jatuh dalam perangkap jebakan utang karena konsesi puluhan tahun memungkinkan Indonesia bergantung pada China dalam waktu yang lama. Hal tersebut dinilai menjadi salah satu strategi China untuk memperkuat pengaruhnya terhadap negara peminjam seperti Indonesia.

Namun beberapa analisis juga tidak setuju bahwa Indonesia telah jatuh dalam perangkap utang karena masih memiliki kondisi ekonomi yang cukup kuat dan stabil. Disisi lain, China masih dilihat sebagai partner yang dapat mendukung Indonesia untuk membangun infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi.

Muhammad Zulfikar Rakhmat, Direktur China-Indonesia Desk di Center of Economic and Law Studies (CELIOS) berpendapat bahwa Indonesia harus memandang dalam lanskap yang lebih luas bahwa jebakan utang tidak terbatas hanya pada isu ekonomi saja, namun lebih daripada itu.

“Ketika sebuah negara merasa tidak independen dalam memutuskan kebijakan karena takut melukai perasaan partner kerjasamanya itu juga dapat diartikan bahwa negara tersebut telah terjebak utang. Dalam konteks Indonesia dan China misalnya, kita menghadapi banyak isu yang berkaitan dengan China dan itu tidak menguntungkan untuk Indonesia, namun respon pemerintah kita masih sangat berhati-hati karena China merupakan partner ekonomi terbesar Indonesia. Kondisi ini telah menunjukkan bahwa Indonesia telah mengalami jebakan utang pada China.” Ungkap Zulfikar.

Lebih lanjut Zulfikar juga memberikan contoh misalnya pada isu perairan Natuna Utara, Indonesia dinilai sangat lemah dalam merespon agresivitas China. Tidak hanya itu, Indonesia juga bungkam dalam isu muslim Uighur di Xinjiang namun secara bersamaan sangat vokal pada isu perang di Israel-Palestina.

Selain itu, Yeta Purnama, Peneliti CELIOS juga memberikan tanggapan bahwa fenomena ini juga ditunjukkan dengan kebijakan Indonesia yang memberikan izin masuk pekerja China di masa pandemi disaat pekerja lokal banyak yang di PHK.

“Tidak hanya itu, Indonesia juga sangat berhati-hati untuk menegur perusahaan China yang memiliki standar rendah dan menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif dan berulangnya kecelakaan kerja terutama di daerah-daerah penghasil nikel yang strategis di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, hingga Maluku Utara.” tutur Yeta.

Yeta juga menambahkan, “Alih-alih memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan tersebut, Indonesia justru memberikan insentif pajak bagi perusahaan China dan hal ini menyebabkan berkurangnya potensi pendapatan dari pajak investasi asing di dalam negeri, secara bersamaan Indonesia memiliki potensi ketergantungan terhadap ULN (Utang Luar Negeri) China. Situasi banjir insentif fiskal ini kemudian turut berdampak mengurangi rasio pajak terhadap GDP dari 10,9% di 2014 ke 10,1% di 2023.”

Dari studi kasus di atas, Yeta berpendapat bahwa konsep jebakan utang China perlu diredefinisi lebih dari utang finansial, melainkan sebuah kondisi dimana keeratan hubungan ekonomi membuat sebuah negara tidak mampu membuat kebijakan luar negeri yang bebas aktif.

Sikap hati-hati Indonesia tentang isu-isu seperti Xinjiang dan Laut Natuna Utara mencerminkan bagaimana ketergantungan ekonomi pada China membatasi otonomi kebijakan luar negeri.

Zulfikar menambahkan “Pemahaman baru ini dapat menunjukkan bahwa jebakan utang tidak hanya mempengaruhi negara-negara berkembang atau miskin tetapi juga

negara-negara yang lebih kaya seperti Qatar, Arab Saudi, dan Kazakhstan, yang telah membatasi kemampuan negara-negara ini untuk bersikap lebih berani soal geopolitik yang sensitif, terutama yang berkaitan dengan China”.

Dalam hal ini, Indonesia perlu meningkatkan kejelasan dalam hubungan dengan China untuk membangun kepercayaan dan akuntabilitas. Selain itu, pemerintah juga perlu mengembangkan kerangka kerja yang kuat untuk melindungi dari potensi eksploitasi dan mengurangi ketergantungan berlebihan pada China dengan melakukan diversifikasi politik negosiasi.

“Tidak kalah pentingnya, Indonesia juga perlu memanfaatkan forum multilateral, khususnya terlibat dalam tindakan kolektif untuk meningkatkan kekuatan negosiasi dengan China,” tutup Zulfikar.

Narahubung: Yeta Purnama 081325068100

Recent Publications
Fiscal Justice
PEMANGKASAN ANGGARAN UNTUK KEADILAN FISKAL DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Digital Economy
Wajib Asuransi Kendaraan Bermotor TPL Solusi Atau Beban Baru Bagi Masyarakat?
Fiscal Justice, Just Energy Transition, Macro Economy, Strategic Litigation
RAPOR 100 HARI KABINET PRABOWO-GIBRAN: Kinerja, Tantangan, dan Harapan
Youtube Video

If you have missed out on our events, check out our YouTube to watch the full recording of them.