Nexus Ambisi Nilai Tambah dan Tata Kelola Hilirisasi Tembaga Bauksit di Indonesia

Nexus Nilai Tambah dan Tata Kelola Hilirisasi Tembaga-Bauksit

Setelah bonanza nikel, perhatian pemerintah kini merambah ke komoditas tambang strategis lainnya, yaitu tembaga dan bauksit. Kedua komoditas ini berperan penting sebagai penopang ekosistem baterai dan transisi energi. Diperkirakan pada 2040, Indonesia membutuhkan investasi Rp97,8 triliun (US$6 miliar) untuk mendorong sistem penyimpanan energi baterai (Battery Energy Storage System/BESS) dengan kapasitas total 32 GWh.

Melihat potensi ini, pemerintah mengeluarkan berbagai regulasi, mempercepat pembangunan smelter, dan melarang ekspor bijih mentah. Diharapkan, hilirisasi dapat menjadi mesin pertumbuhan (engine of growth) dengan memanfaatkan keunggulan komparatif Indonesia, sehingga sejajar dengan negara-negara industri maju.

Mencermati dinamika tersebut, CELIOS menerbitkan laporan berjudul “Nexus Ambisi Nilai Tambah dan Tata Kelola Hilirisasi Tembaga-Bauksit di Indonesia”. Laporan ini menyoroti wacana pembukaan kembali izin ekspor konsentrat serta tantangan lingkungan dan pendanaan pada kawasan hilirisasi dua komoditas strategis ini.

Jangan Kalah dengan Lobi Ekspor Konsentrat

Keputusan untuk menghentikan ekspor tembaga mentah pada 2025 merupakan langkah tepat. Jangan ada celah untuk mengizinkan kembali ekspor konsentrat bernilai tambah rendah. Sebaliknya, momentum ini harus dimanfaatkan untuk memperbaiki tata kelola hilirisasi tembaga dan bauksit.

Sejak disahkannya UU Minerba No. 4 Tahun 2009, perusahaan tambang seperti PT Freeport Indonesia sudah memiliki waktu cukup panjang untuk mempersiapkan smelter. Namun, kapasitas produksi smelter tembaga dalam negeri diperkirakan belum mencapai 100% pada akhir 2024. Insiden kebakaran di pabrik smelter Gresik, Jawa Timur, menjadi bahan evaluasi penting, tetapi tidak boleh dijadikan alasan untuk membuka kembali ekspor konsentrat.

Tantangan dan Peluang Hilirisasi Bauksit

Indonesia adalah salah satu penghasil bauksit terbesar di dunia, tetapi kinerja ekspor produk olahannya melemah pada 2023. Volume ekspor logam dasar bauksit turun 41,6% secara tahunan, sementara nilai ekspor turun 55,6% menjadi US$448,4 ribu. Salah satu kendala utama adalah sulitnya pendanaan pembangunan smelter. Dari 12 smelter bauksit yang direncanakan, hanya empat yang beroperasi.

Kementerian ESDM mencatat bahwa bank domestik masih enggan mendanai proyek hilirisasi bauksit. Pemerintah perlu memastikan smelter yang mangkrak segera diselesaikan dan memperkuat pendanaan melalui kemitraan strategis.

Peluang Produk Hijau Bernilai Tinggi

Hilirisasi tidak hanya menghadapi kendala kebijakan dan pendanaan, tetapi juga tekanan pasar global melalui standarisasi produk ramah lingkungan. Peluang dari produk low-carbon metals seperti tembaga dan bauksit rendah karbon harus dimanfaatkan untuk menembus pasar Uni Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang, yang sangat mendukung bahan baku rendah karbon.

Bursa komoditas seperti London Metal Exchange (LME) telah menawarkan produk hijau dengan harga lebih tinggi. Sebagai contoh, harga aluminium rendah karbon mencapai CNY 20.964 per metrik ton, lebih mahal dibandingkan aluminium konvensional yang harganya CNY 19.790 per metrik ton.

Mitigasi Dampak Lingkungan Smelter dan Tambang

Produksi produk olahan tembaga dan bauksit tidak lepas dari emisi dan limbah. Simulasi emisi di PT Smelting Gresik menunjukkan bahwa dengan daya listrik 170 MVA, karbon yang dihasilkan mencapai 1.156 metrik ton CO2 per tahun. Hingga kini, kawasan industri hilirisasi di Indonesia masih mengandalkan PLTU batu bara.

Dukungan pasokan energi bersih dari PLN menjadi kebutuhan mendesak. Dengan pasokan energi terbarukan, perusahaan tidak perlu membangun pembangkit sendiri, sehingga dapat mengurangi biaya pencemaran lingkungan.

Rekomendasi Penguatan Tata Kelola Hilirisasi

Konsistensi Kebijakan: Kebijakan hilirisasi harus konsisten dan berorientasi jangka panjang.

  1. Insentif Investasi: Berikan insentif fiskal selektif bagi investor dengan rencana transisi energi dan pengolahan limbah yang baik.
  2. Sanksi Tegas: Terapkan sanksi bagi perusahaan yang gagal memenuhi tenggat pembangunan smelter.
  3. Akses Energi: Sediakan infrastruktur energi terbarukan untuk industri hilirisasi.
  4. Logistik dan Transportasi: Tingkatkan jaringan transportasi untuk mendukung kelancaran distribusi.
  5. Alih Teknologi: Wajibkan transfer teknologi dari investor asing.
  6. Pengembangan SDM: Latih tenaga kerja lokal untuk menguasai teknologi pengolahan.
  7. Kemitraan Strategis: Dorong kolaborasi perusahaan nasional dan asing untuk smelter rendah karbon.
  8. Standar Lingkungan: Terapkan standar lingkungan ketat untuk mitigasi dampak negatif.
  9. Transparansi: Tingkatkan transparansi perizinan dan pelaporan produksi.
  10. Rehabilitasi Tambang: Wajibkan perusahaan melakukan rehabilitasi lahan tambang.
  11. Pengawasan Ketat: Perkuat pengawasan pembangunan smelter.

Dengan langkah-langkah ini, pemerintahan Prabowo Subianto diharapkan mampu mengoptimalkan potensi sektor tambang tembaga dan bauksit serta meningkatkan kontribusinya terhadap perekonomian nasional.

Recent Publications
Just Energy Transition, Mining Advocacy
Menambang Solusi Palsu: Polemik JETP dalam Kasus Proyek Geothermal Ijen
Fiscal Justice
PEMANGKASAN ANGGARAN UNTUK KEADILAN FISKAL DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Digital Economy
Wajib Asuransi Kendaraan Bermotor TPL Solusi Atau Beban Baru Bagi Masyarakat?
Youtube Video

If you have missed out on our events, check out our YouTube to watch the full recording of them.