Jerat Ambisi Hijau pada Hutan: Transisi Energi Jepang dan Ekspor Ilegal Biomassa yang Merugikan Indonesia

Cover

Jakarta – Di tengah urgensi global untuk beralih ke sumber energi terbarukan, Indonesia mulai melirik biomassa kayu sebagai alternatif transisi energi. Pemenuhan sumber biomassa kayu ini dilegitimasi melalui skema Hutan Tanaman Energi (HTE) yang diatur dalam Permen LHK Nomor 62 Tahun 2021 mengenai diversifikasi fungsi lahan hutan untuk mendukung ketahanan energi nasional. Biomassa kayu berbentuk wood pellet dan wood chips akan dicampur dengan batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik (co-firing) dan digadang-gadang menjadi solusi mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Studi CELIOS yang berjudul Jerat Ambisi Hijau pada Hutan: Transisi Energi Jepang dan Ekspor Ilegal Biomassa yang Merugikan Indonesia mengambil kasus pada konsesi pengembangan HTE terbesar di Indonesia atau PT. Korintiga Hutani. Hal tersebut mempertimbangkan bahwa dengan areal konsesi sebesar 94.378 hektar, produksi wood chips dan wood pellet-nya 100% diekspor untuk memenuhi suplai biomassa Jepang. Tim Peneliti CELIOS, melalui penelitian ini, menyoroti kepentingan Jepang tidak hanya dalam mengimpor biomassa kayu namun berinvestasi secara masif dalam proyek biomassa di Indonesia.

Jepang memiliki ambisi biomassa didasarkan pada strategi GX (Green Transformation) dipicu selain komitmen iklim juga menggantikan peran pembangkit nuklir paska kejadian Fukushima.

Selain kebutuhan transisi energi Jepang, pemberlakuan regulasi Feed-In Tariff di Jepang memicu lonjakan ekspor biomassa kayu dari Indonesia dalam skala masif. Sejak 2012 hingga 2023, ekspor wood chips melonjak 4.377,5%. Sementara ekspor wood pellets meroket hingga 254.275% atau 2.500 kali lipat lebih.

Pada rentang tahun yang sama, ditemukan adanya selisih mencolok dalam data perdagangan kayu antara Indonesia dan Jepang. Peneliti CELIOS, Viky Arthiando Putra, mengatakan bahwa produk wood chips (HS440122) selisih impor tercatat mencapai

3,04 juta ton atau setara USD153,9 juta. Sementara wood pellets (HS440131) selisih volumenya sebesar 19.547 ton atau setara USD5,1 juta.

“Ketidaksesuaian ini memicu kekhawatiran adanya potensi celah praktik ilegal dalam rantai pasok biomassa kayu yang merugikan,” sebutnya. Kerugian yang dimaksud adalah potensi bea keluar yang tidak optimal, kepatuhan pajak rendah, dan risiko deforestasi yang tidak tercatat. Selisih ekspor yang terlalu besar juga memicu kekhawatiran bahwa biomassa Indonesia hanya digunakan sebagai pencapaian target emisi di Jepang.

Temuan selisih data ekspor wood pellet dan wood chips juga ditanggapi oleh Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan DAGLU, Bapak Farid Amir. “Selain kemungkinan ekspor ilegal atau penyelundupan melalui jalur tikus, ada beberapa isu diskrepansi data, misalnya pergeseran lokasi port bongkar muat yang berimbas adanya perubahan pencatatan pada bea cukai. Namun selisih tonase tersebut perlu untuk dikawal dan ditindaklanjuti.” kata Amir.

Dalam acara ini, Fiorentina Refani selaku peneliti bidang energi CELIOS, juga memaparkan perhitungan selisih nilai karbon dari proses rantai pasok program co-firing biomassa. Dengan kapasitas impor wood chips sebesar 963.636 m3/tahun dan wood pellets sebesar 265.000 m3/tahun dari PT. Korintiga Hutani saja, Jepang memiliki utang karbon global sebesar 562.848,21 ton-CO2eq per tahun. Angka itu bahkan masih belum memasukkan proses konversi lahan ataupun potensi kebakaran lahan yang dipicu perubahan drastis struktur vegetasi akibat sistem monokulturnya.

“Adanya selisih nilai lebih antara keluaran emisi dari proses tanam-pelihara hingga pembakaran menunjukkan narasi netral karbon yang selama ini dilekatkan pada penggunaan sumber biomassa kayu untuk pengadaan sektor kelistrikan adalah mitos belaka,” ungkap Fiorentina mengakhiri paparannya.

Namun, penerapan skema HTE menimbulkan kekhawatiran akan mengakselerasi laju deforestasi serta memicu risiko ekologis seperti degradasi keanekaragaman hayati. Uli Arta Siagian selaku Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi menegaskan, “Selama transisi energi diletakkan dalam skema bisnis, dampak turunannya akan terus menegasikan dan meminggirkan masyarakat.”

Semenjak penerapan co-firing pada 2020 dan peningkatan produksi biomassa, alih-alih menurun, produksi batu bara di Indonesia malah menunjukkan tren peningkatan. Tercatat peningkatan sebesar 21% dari 1,9 juta MBOE pada 2019 menjadi 2,3 juta MBOE pada 2020. Ini menunjukkan bahwa biomassa kayu tidak berkorelasi dengan pengurangan produksi dan ekspor batubara.

Dalam acara ini, hadir pula Katherine Hasan; analis dari CREA (Centre for Research on Energy and Clean Air). Menanggapi studi yang diluncurkan CELIOS, Katherine mengatakan apabila ada narasi pengurangan emisi karbon pada produksi biomassa, masyarakat perlu skeptis karena pengurangan emisi ternyata belum signifikan.

 

Recent Publications
Fiscal Justice
PEMANGKASAN ANGGARAN UNTUK KEADILAN FISKAL DAN KESEJAHTERAAN RAKYAT
Digital Economy
Wajib Asuransi Kendaraan Bermotor TPL Solusi Atau Beban Baru Bagi Masyarakat?
Fiscal Justice, Just Energy Transition, Macro Economy, Strategic Litigation
RAPOR 100 HARI KABINET PRABOWO-GIBRAN: Kinerja, Tantangan, dan Harapan
Youtube Video

If you have missed out on our events, check out our YouTube to watch the full recording of them.