China kerap memasarkan investasi “hijau” sebagai strategi pencitraan di bawah payung Belt and Road Initiative (BRI). Namun, di balik slogan keberlanjutan, muncul pertanyaan: narasi apa yang sebenarnya dipromosikan di Indonesia? Laporan ini mengupas latar belakang dan konteks investasi China, menjelaskan praktik greenwashing, serta menyoroti dampak negatif yang muncul. Dengan membedah narasi, aktor kunci, dan celah kebijakan, laporan ini berupaya membuka tabir di balik label hijau yang sering kali tidak sejalan dengan realitas di lapangan.
Sebagai ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan anggota G20, Indonesia menjadi mitra strategis BRI sekaligus pemain penting dalam transisi energi global. Sumber daya alam seperti nikel, kobalt, dan bauksit menjadikan Indonesia pusat rantai pasok energi bersih dunia, khususnya kendaraan listrik dan baterai. Posisi ini menarik aliran besar pendanaan China untuk industri ekstraktif, energi, dan infrastruktur—mulai dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung hingga smelter nikel. Laporan ini hadir untuk mengulas bagaimana investasi tersebut dibungkus dengan narasi hijau, serta konsekuensi nyata bagi ekonomi, lingkungan, dan tata kelola di Indonesia.
China has increasingly marketed “green investment” as a branding strategy under the Belt and Road Initiative (BRI). Yet behind the sustainability slogans lies an important question: what narratives are actually being promoted in Indonesia? This report unpacks the background and context of Chinese investment, explains the practice of greenwashing, and highlights the negative impacts that have emerged. By examining the narratives, key actors, and policy gaps, it seeks to reveal the realities behind the green labels that often fail to match conditions on the ground.
As Southeast Asia’s largest economy and a G20 member, Indonesia is both a strategic BRI partner and a pivotal player in the global energy transition. Its abundant natural resources—nickel, cobalt, and bauxite—have placed Indonesia at the heart of the global clean energy supply chain, particularly for electric vehicles and batteries. This strategic position has attracted massive flows of Chinese investment into extractive industries, energy, and infrastructure—from the Jakarta-Bandung High-Speed Railway to nickel smelters. This report explores how such investments are framed through “green” narratives, and the real consequences they carry for Indonesia’s economy, environment, and governance.